Selasa, 06 Desember 2011

Domain .XXX Klaim Lindungi Anak-anak

TEMPO Interaktif, Jakarta - Siapa pun yang mengetahui domain .XXX pasti akan mengaitkannya dengan pornografi. Tentunya, para orang tua tidak akan mengizinkan anak-anak mereka untuk mengintip situs dengan nama domain tersebut.
Tapi apa kata orang di belakang domain .XXX ini? Menurut Stuart Lawley, pendiri sekaligus CEO ICM Registry, perusahaan yang berada di balik domain tersebut, justru domain .XXX akan membantu orang tua dalam melindungi anak-anak mereka.
"Setiap situs .XXX memiliki identifikasi yang sudah jelas sehingga tak seorang pun bisa berdalih mengetik domain tersebut dengan alasan tidak sengaja," kata Lawley seperti dikutip Cnet, Selasa, 6 Desember 2011.
Singkatnya, konten yang tersedia di domain .XXX tentunya ditujukan bagi mereka yang sudah dewasa dan semua orang dianggap mengetahuinya.
Lagipula, Lawley menambahkan, perusahaannya telah menggandeng MetaCert W3C, sebuah layanan komputasi awan untuk menerapkan sistem labeling atau penanda bahwa domain ini khusus untuk mereka yang sudah dewasa.
Saat ini, MetaCert W3C sudah menandai 250 juta web page dari berbagai top level domain dengan berbagai konten.
Kehadiran domain .XXX memang mengundang kontroversi selama beberapa tahun belakangan. Kelompok agama menuding kehadiran domain tersebut sama dengan melegitimasi pornografi.
Namun, ada pula yang berpendapat bahwa domain tersebut justru membuat batasan yang jelas antara konten dewasa dan bukan.
Sampai pada Januari lalu, Internet Corporation for Assigned Names and Numbers (ICANN) resmi menyepakati adanya domain tersebut di dunia maya. Sampai hari ini diperkirakan ada 100 ribu domain .XXX yang muncul di Internet.
Kendati sudah ada penanda bahwa .XXX adalah domain khusus dewasa, para orang tua diimbau supaya tetap membatasi gerak-gerik anak mereka ketika mengakses Internet. Bisa dengan menerapkan software parental control di komputer sampai cara yang paling sederhana, yakni mendampingi anak setiap kali mengakses Internet.
CNET | RINI KUSTIANI

Minggu, 04 Desember 2011

“ Mama Yang Ku Cinta ”


“ Mama Yang Ku Cinta ”

H
ari ini adalah hari ibu, yang tepat tgal 22 Desember. Tapi hari ini bukanlah hari yang menyenangkan buat ku. Hari ini aku hanya merenung sendiri di kamar. Hari ini aku benar2 sangat malu pada diriku sendiri. Hari ini aku betul2 melakukan intropeksi diri atas perlakuan ku kepada mama selama ini.
          Aku bersedih karena sekarang aku sedang sakit. Aku baru saja mengalami sebuah kecelakaan, kakiku dinyatakan patah setelah di rontgen, sungguh aku sangat terpukul kerena tidak bisa pergi ke sekolah. Padahal sebentar lagi akan ada ujian semester.
          Namun di tengah kesedihan dan dukaku, hanya ada satu orang yang betul sangat memerhatikan dan perhatian kepadaku, dialah mama.  Bahkan papa pun tak peduli sedikitpun padaku, malah papa ninggalin aku dan mama sendiri dirumah, entah kemana papa pergi aku tak tau sama sekali. Papa bilang sebelum pergi, dia sudah tak peduli sama mama dan aku, dia juga bilang, sudah bosan dengan kondisi ku saat ini yang hanya sakit-sakitan saja.
          Tak terasa air mataku menetes,karena di tengah kesulitanku ini, tak ada satupun orang yang memedulikanku, selain mama. Bahkan mama kerja banting tulang pagi dan malam demi menafkahiku dan menyembuhkanku, aku benar-benar salut sama mama. Pengorbanan dan kasih sayang serta jasanya tak sepadan dengan apa yang kita berikan.
          Aku betul-betul menangis hingga malam, sampai2 mama pun heran dengan ku.
          “ Fia, kenapa sayang?” tanya mama heran padaku. Namun aku hanya diam tanpa katapun. Selama ini mama selalu mengomel dan marah padaku. Sampai2 aku pun sering melawannya, kemudian mama hanya diam entah apa yang dipikirkannya.

****-----****

          Hari ini tangisku betul menjadi-jadi, karena setelah kesembuhanku 5 bulan berlalu, kini mama sudah berada di tempat yang sangat jauh dari dunia ini.
          “ mama!!!! Kenapa mama pergi!!!” jerit Fia pada jenazah mamanya.
          “ sudahlah, Fia masih ada tante disini. Tante akan menggantikan mama mu sayang. “
          Ya, benar sekali, kini mama sudah kembali pada pangkuan-Nya. Aku benar sangat terpukul karena sekarang aku tidak punya siapa-siapa lagi. Kenapa mama yang ku cinta pun harus pergi, papa datang ke pemakaman mama dengan seorang wanita. Tante Wiwit mengusir papa dari pemakaman ini, namun papa nampak hanya menyesal sesaat.
          “ papa puas???!!! Karena papa mama rela bekerja banting tulang sampai-sampai ia harus rela tertabrak trak gandeng itu Cuma buat menyelamatkan papa!!!!! Papa kejam!!! “ aku benar2 marah pada papa, karena papa, mama jadi banting tulang Cuma buat mencari nafkah, dan karena papa juga, mama meninggal. Aku betul menangis dan berteriak sejadi2nya. Bahkan tante wiwit pun tak segan mengusir wanita yang di gandeng papa, yang ternyata adalah istri muda papa. Namun papa tetap ingin menghampiriku dengan wajah bersalahnya.
          “ fia, maafkan papa sayang… papa janji akan membahagiakan kamu fia, segala keinginan kamu akan terpenuhi. Papa janji. ! “ papa mengelus pundakku.
          Tapi aku hanya diam dan tetap menangis memikirkan nasibku ini.
          “ sudah Mas!!!! Mas pergi aja sama cewe ganjen Mas itu!! Biar aku yang urus Fia!! Mas ga usah ikut campur urusan fia lagi, sana pergi kamu dasar wanita taktahu malu!!! “ tante wiwit hanya ngoceh dari tadi dengan papa dan istri muda papa, namun karena sdh tak tahan wanita bersama papa mengajak papa pergi, dan sekarang papa sudah beranjak dari hadapanku.

          Kali ini aku hanya sendiri bersama makam mama. Aku hanya bisa meneteskan air terus menerus dari mataku. Karena aku sudah kehilangan kedua orang yang kusayang. Kini aku yatim piatu, ayahku pergi, ibuku tiada.

          Aku betul menyesal atas perlakuanku pada mama dahulu, dulu mama selalu ngomel sama aku, selalu ini, selalu itu, rasanya seperti telinga ini sakit gara2 tiap hari dapat cemilan omel mama. Sampai suatu hari aku berani melawan beliau, namun ternyata itu adalah gambaran rasa sayang beliau yang sangat dalam untukku. Tanpa sempat membahagiakan dan membalas jasa mama, mama sudah duluan pergi meninggalkanku.


Aku sangat menyesali tingkahku selama mama ada dulu, mengapa aku tidak bertindak patuh pada mama, mengapa aku tak seharusnya berani melawan pada mama , dan penyesalan pun selalu datang belakangan.

kini aku hanya bisa mendoakan beliau, semoga mama bahagia di sana. Dan terhindar dari siksa dan adzab Allah. Amin. I LOVE U MOM………...

****-----****

                                                            ThE EnD………


            Amanat dari cerita:
Sebaiknya pergunakanlah waktu sebaik2nya untuk berbakti pada ayah dan ibunda kita selama mereka ada di dunia ini. Berikanlah selalu yang terbaik untuk mereka. Dan janganlah pernah berprasangka buruk pada orang tua kita, karena sesungguhnya tak ada orang tua yang marah pada anaknya dan benci pada anaknya.

            Yang ada hanyalah orang tua yang sayang pada anaknya dengan selalu menasehati kekeliruan sang anak. Karena sebenarnya marah orang tua kita adalah perhatian yang cukup besar dari mereka. Sayangilah orang tuamu, patuhlah pada orang tua mu terutama ibumu. Karena surga berada di bawah telapak kakinya.

            Dan jangan pernah kau goreskan sekecil lukapun di hatinya karena sifatmu. Namun berikanlah selalu kebahagiaan dihati beliau dengan ketulusanmu. Dan perlu kita ingat, siapa pun, dimana pun, dan bagaimanapun orang tua kita, mereka tetaplah orang tua kita, yang melahirkan kita kedunia. Tanpa perantara mereka, kita tak akan pernah ada di dunia ini.

*****------*****

Minggu, 20 November 2011

Patah Hati

 ...
Huaahhh!! gue ngerasa hari ini bad day banget... kmu tau knp??? yahhh because someone yang udah khianatin gue.... yang udah gue kasih kepercayaan tapii malah bikin kecewa guee... sapa coba yang kagak patah hatii di gituin...!!!!!!! emang GAK PUNYA HATI !!!



            #Buat dhiaa yg udah nyakitin gue... Makassihh... karena udah mengajarkan kesabaran ke gue...
Jangan pernah kenal gue lagii... karena GUE GAK MAU KENAL AMA LOE LAGI!!!
* ='(

Don't BACK TO MY LIFE.... >,<

Senin, 14 November 2011

Puisi "Sahabat Sejatiku"



By:Noor eka Febryana
Senyummu hiasi hari-hariku
Tawamu ramaikan suasana
Candamu membekaskan rindu di hatiku

Namun kini semua lenyap tersapu angin
Semua hilang di hempas gelombang
Semua sirna karena kekhilafanku

Tak ada lagi tawa candamu
Tak terlihat lagi senyum di bibirmu
Yang tersisa hanya luka
Yang tertinggal hanya tangis

Maafkanlah salahku
Maafkanlah dosaku
Ku tak tau kau merasa tersakiti olehku

          Sungguh perih hatiku melihat kau begitu
          Begitu sakit jiwaku karena kini kau membenciku
          Terasa terbelah hatiku karena kebencianmu

Ku sadari aku salah
Ku sadari aku khilaf
Ku sadari aku hina
                   Kumohon jangan begini terus
                   Kumohon tuntaskan segala masalah ini
                   Jangan kau hanya diam
                   Jangan kau hanya membisu

Ku sungguh sayangimu
Ku tak ingin kehilanganmu sahabat
Mengapa selalu aku yang salah?
Mengapa begitu sulit ku memohon kata maaf darimu
Apakah harus aku bersujud memohon ampunmu!

                             Jika begini jadinya biarlah aku yang pergi
                             Biar aku yang menjauh darimu
                             Takkan pernah kudekati kau lagi

Kenangan indah bersamamu tak terlupakan
Kini tinggal angan-angan
Tak akan pernah mungkin terlihat lagi senyummu menghiasi hariku
Ku cinta kau sahabatku

Jumat, 11 November 2011

LAnjutan: Pelajaran pertama bercinta

Hubungan Rien dan Kino berkembang cepat bagai api membakar ilalang kering. Susi sudah tidak lagi latihan menari, karena kini ayah dan ibu menyuruh Susi lebih berkonsentrasi ke pelajaran sekolah. Ujian akan berlangsung tiga bulan lagi. Kino tidak lagi mengantar Susi, tetapi justru kunjungannya ke sanggar semakin sering!
Ada satu hal yang membuat mereka semakin dekat. Keduanya suka berenang, dan Rien dengan senang hati mengajak Kino ke pantai jika waktu senggang. Seperti kali ini, Kino pulang lebih cepat karena guru-gurunya harus berseminar di luar kota. Dari sekolah, Kino menuju sanggar untuk melihat kalau-kalau Mba Rien ingin berenang. Dan ternyata Rien memang sedang tidak berkegiatan, sedang sendirian membaca-baca majalah di sanggar.
“Berenang, yuk, Mba Rien..,” ajak Kino. Kini ia sudah berani mengajak duluan, setelah berkali-kali mereka berenang bersama di sungai, di kolam renang, maupun di pantai. Selama itu, mereka berenang bersama-sama dengan beberapa orang lainnya. Kadang-kadang bersama Dodi dan Iwan, sahabat Kino. Kadang-kadang bersama Niken, salah seorang penari di sanggar. Teman-teman Kino pun kini tahu, bahwa di antara Mba Rien dan Kino “ada apa-apa”. Tetapi mereka cuma bungkam, karena Kino pasti akan berang setiap kali topik itu diangkat dalam pembicaraan.
Siang itu mereka berenang berdua saja. Teman-teman Kino memilih memancing di danau di luar kota. Niken tidak ada di sanggar karena harus belanja ke pasar. Rien dengan senang hati menerima ajakan Kino, dan segera mengambil pakaian renang dan sepedanya.
Di pantai tidak banyak orang, karena ini memang bukan hari libur. Rien mengajak Kino ke sebuah bukit pasir yang dipenuhi semak, karena tempat itu jauh lebih sejuk di bandingkan tempat di mana orang-orang biasa berenang atau bermain pasir. Kino menurut saja. Mereka pun lalu berenang, bermain-main air dan saling berlomba mencapai batu karang di tengah laut. Mba Rien bukanlah perenang yang dapat diremehkan, begitu selalu kata Kino kepada teman-temannya. Tubuhnya gesit seperti ikan, dan tahan berenang berjam-jam.
Setelah puas berenang, mereka kembali berteduh di bawah semak-semak. Kino menggelar dua handuk lebar yang selalu dibawanya jika berenang ke pantai. Rien merebahkan tubuhnya yang penat di sebelah Kino yang juga sudah tergeletak kecapaian. Mereka terdiam mendengarkan debur ombak memecah pantai. Kino memejamkan mata dan merasakan otot-otot tubuhnya pegal dan sedikit linu.
“Kino..,” tiba-tiba Rien berucap, hampir tak terdengar.
“Hah?…” Kino kaget dan setengah bangkit. Mba Rien masih tergeletak dengan mata tertutup, tetapi bibirnya tersenyum.
“Ada apa, Mba?” tanya Kino.
“Aku mau tanya, tetapi kamu musti jawab yang jujur ya!” kata Mba Rien, masih memejamkan mata dan tersenyum. Kino cuma diam.
“Kino .., kamu senang melihat saya, bukan?” tanya Mba Rien pelan. Kino cuma diam, tak tahu harus menjawab apa. Di hadapannya tergeletak seorang wanita dewasa, dengan tubuh sempurna, basah oleh air laut, dan bertanya seperti itu! Apa jawabannya?
“Lho, kenapa diam?” sergah Mba Rien, kini membuka matanya, memandang Kino dengan sinar mata yang menembus kalbu. Kino menelan ludah, lalu menunduk.
Rien lalu bangkit, duduk bersila menghadap Kino yang kini juga sudah duduk dengan kepala agak menunduk. Lalu Rien melakukan sesuatu yang selama ini tak pernah terduga oleh Kino. Ia membuka pakaian renangnya, menanggalkan bagian atasnya, memperlihatkan buah dadanya yang ranum, putih mulus dan basah berkilauan! Aduhai indahnya dua bukit kenyal yang turun naik seirama nafas pemiliknya, dengan puncak yang dihiasi dua puting coklat kehitaman, berdiri tegak bagai menantang!
Kino mengangkat muka, pandangannya terpaku di kedua payudara indah di hadapannya. Mulutnya terkunci rapat. Rien tersenyum melihatnya, lalu dengan lembut digenggamnya kedua tangan Kino. “Jangan malu, Kino. Katakan kamu memang suka melihat tubuh saya, bukan?” ucapnya setengah berbisik. Kino menangguk pelan.
“Ingin menyentuhnya?” bisik Mba Rien lagi. Kino tergagap, mengangkat mukanya dan memandang wajah wanita di depannya tak percaya. Tetapi di wajah itu ada sepasang mata yang sangat sejuk, bagai danau di kaki bukit tempat teman-temannya biasa memancing. Sebuah hamparan air yang tampak tenang meneduhkan hatinya yang bergejolak.
“Apa maksud, Mba Rien?” ucap Kino tersekat.
“Tidak inginkah kamu menyentuh dadaku?” jawab Mba Rien, genggaman tangannya semakin kuat, dan kini perlahan-lahan mengangkat tangan Kino. Tersenyum lagi, Rien merasa betapa kedua tangan itu bergetar. Cepat-cepat kemudian ia meletakkan kedua tangan Kino di dadanya, di puncak-puncak payudaranya yang membusung. Kino segera menarik kembali tangannya, bagai menyentuh benda bertegangan listrik. Rien tertawa kecil.
“Hayo, pegang lagi…,” ucapnya ringan. Diraihnya lagi kedua tangan Kino dan diletakkannya kembali di atas payudaranya. Kali ini Kino tak menarik tangannya, dan membiarkan kedua telapak tangannya menerima sebuah kelembutan, kehangatan, kekenyalan, dan entah apa lagi …. semuanya serba menakjubkan. Pelan-pelan, Kino mulai memegang lebih erat, menempelkan seluruh telapaknya di puncak-puncak payudara Mba Rien. Baru kali ini, setelah lepas dari susu ibunya 13 tahun yang lalu, Kino memegang kembali payudara seorang wanita!
“Senang?” tanya Mba Rien, masih dengan suaranya yang setengah berbisik, setengah menuntut. Kino hanya bisa mengangguk dan menatap lekat mata Mba Rien, seakan-akan hanya dari kedua mata itulah ia bisa memiliki kekuatan untuk hidup saat ini.
Lalu Mba Rien menurunkan tangan Kino, mengenakan kembali pakaian renangnya, dan mengusap lembut wajah Kino. “Kamu sekarang sudah dewasa, Kino!” ucapnya riang, sambil bangkit dan menarik tangan Kino untuk ikut berdiri. Lalu ia berlari, menyeret Kino kembali ke laut, terjun sambil berteriak riang, dan melesat meninggalkan Kino menuju batu karang di tengah.
Kino merasa tubuhnya yang panas bagai bara dicelupkan ke dalam air dingin, segera memadamkan api yang tadinya sudah hampir membesar. Kino menyelam sedalam-dalamnya, seakan-akan hendak bersembunyi dari rasa malu yang tiba-tiba mengukungnya. Tapi kemudian ia segera timbul kembali, segera bersemangat lagi mengejar wanita yang baru saja memberinya pelajaran sangat berharga dalam hidup ini. Aku telah dewasa! jeritnya dalam hati.

Pandangan penuh cinta

Pandangan penuh cinta

Seminggu setelah peristiwa di belakang panggung itu, Kino mengantar Susi ke sanggar Mba Rien. Sebelum berangkat, ia sudah bersumpah untuk tidak berlama-lama. Begitu sampai, ia akan segera melepas Susi dan kembali kerumah secepatnya. Kepada Susi ia telah pual berpesan agar tidak perlu diantar sampai pintu ruang latihan. Susi mencibir manja, tetapi tidak membantah ucapan kakaknya.
Namun semua rencana buyar ketika ternyata Kino berjumpa Mba Rien di gerbang halaman sanggar. Turun dari sepedanya, Kino tergagap menyampaikan salam kepada wanita yang tubuhnya memenuhi hayal Kino seminggu ini.
“Hai, Kino … lama sekali kamu tidak kelihatan. Kemana saja?” sambut Mba Rien riang.
“Sibuk, mbak..,” jawab Kino menunduk. Adiknya sudah turun dan berlari masuk.
“Wah… begitu sibuknya, sampai tidak sempat menonton Mba Rien lagi, ya!?” sergah Mba Rien sambil tersenyum manis. Kino menyahut dengan gumam tak jelas, dan menunduk seperti seorang pesakitan di hadapan polisi.
“Eh .. tidakkah kamu ingin melihat adikmu menari lengkap?” ucap Mba Rien lagi, dan tiba-tiba tangannya telah menyentuh tangan Kino. Tergagap, Kino menjawab sekenanya, tetapi entah apa isi jawaban itu, ia sendiri tak ingat!
“Hayo masuk, sekali ini kamu bisa melihat anak-anak menari sampai selesai!” kata Mba Rien yang kini sudah memegang erat satu tangan Kino dan menariknya masuk ke halaman sanggar. Kino tak kuasa menolak, dan dengan kikuk ia mengikuti langkah Mba Rien sambil menyeret sepedanya.
Mba Rien tidak memakai kain sore ini. Tubuhnya dibungkus rok span hitam dan hem kuning muda dengan leher V yang agak rendah. Ia juga tidak berdiri memberi contoh di depan anak-anak, melainkan duduk bersimpuh di lantai, di sebelah Kino yang bersila. Dari tempat mereka duduk, Kino bisa melihat anak-anak menari lengkap tanpa instruksi Mba Rien. Bagi Kino, anak-anak itu kelihatan seperti daun-daun kering yang berterbangan di tiup angin. Jauh sekali bedanya dibandingkan dengan jika yang menari adalah Mba Rien.
Kino melirik ke sebelah kanannya, tempat Mba Rien bersimpuh. Darahnya berdesir cepat melihat rok span wanita itu terangkat sampai setengah pahanya. Aduhai, pahanya mulus sekali, dihiasi bulu-bulu halus yang hampir tak tampak. Betisnya juga indah sekali, tidak terlalu besar, tetapi juga tampak kokoh karena sering berdiri lama ketika menari. Mba Rien sendiri sedang serius memperhatikan anak-anak menari, sehingga tidak menyadari bahwa remaja di sampingnya sedang sibuk menelan ludah!
Ketika suatu saat Mba Rien harus berganti posisi bersimpuhnya, Kino mencuri pandang lagi. Sekejap, ia bisa melihat seluruh pangkal paha Mba Rien. Celana dalam berwarna putih, tipis menerawangkan warna kehitaman di selangkangan, membuat Kino terkesiap. Cepat-cepat dialihkannya pandangan kembali ke tempat anak-anak menari.
Rien menoleh untuk menanyakan sesuatu, tetapi seketika ia melihat wajah Kino seperti kepiting rebus. Ah, ia tiba-tiba sadar akan posisi duduknya. Remaja yang sekarang sedang pura-pura memperhatikan tarian itu pasti tadi melihat rok ku tersingkap, pikir Rien menahan tawa. Minta ampun, remaja sekarang begitu cepat matang! Rien membatalkan keinginannya untuk menanyakan komentar Kino. Sebaliknya, ia malah bangkit membuat Kino memalingkan muka dengan wajah bersalah. Pikir Kino, jangan-jangan ia tahu aku tadi melihat pahanya.
“Kamu mau minum, Kino?” tanya Mba Rien setelah berdiri, dan tanpa menunggu jawab ia berkata lagi, “Yuk, ikut saya ambil minum di ruang sebelah.”
Kino bangkit dan mengikuti wanita pujaannya seperti kerbau dicucuk hidungnya. Entah kenapa, wanita ini tidak bisa kubantah! ucapnya dalam hati.
Ruangan itu terletak di sebelah ruangan latihan, berupa sebuah dapur lengkap dengan meja makannya. Ada sebuah lemari es besar, dan Mba Rien tampak sedang membukanya dan mengambil beberapa minuman botol. Kino berdiri tidak jauh di belakangnya, melihat dengan takjub tubuh yang agak membungkuk di depannya. Kepala Mba Rien tersembunyi di balik pintu lemari es, tetapi bagian belakang tubuhnya yang seksi terlihat nyata di mata Kino. Gila! Segalanya terlihat indah! umpat Kino dalam hati.
Kemudian mereka minum sambil duduk di kursi makan. Mba Rien menawarkan kue, tetapi Kino menolak halus. Mereka berbincang-bincang, atau lebih tepatnya Mba Rien bercerita tentang segala macam. Kino lebih banyak mendengarkan daripada berbicara. Entah kenapa, Rien sendiri merasa semakin dekat dengan remaja di hadapannya. Rien merasa bahwa Kino adalah adik lelaki yang tak pernah dimilikinya. Saudara kandungnya semua perempuan, dan tinggal di lain kota. Di sini ia hidup sendirian, di sebuah kamar indekos tak jauh dari sanggar.
Untuk Rien, Kino adalah remaja yang menyenangkan. Tidak berulah seperti kebanyakan remaja seusianya. Kino juga sopan, walaupun matanya sering nakal. Ah, seusia itu pastilah sedang mengalami kebangkitan gairah seksual. Ia ingat, pada usia seusia Kino dulu, ia juga mengalami “revolusi” yang sama. Saat itu, pikirannya tak lekang dari gairah seks dan lawan jenis. Kino pastilah tak berbeda, cuma ia sangat sopan dan pemalu.
Sore itu mereka berpisah karena latihan menari telah usai. Kino mengucapkan terimakasih atas suguhan Mba Rien, dan Rien melambai di gerbang sambil mengucap, “Jangan bosan kemari, ya, Kino!”
Ah, bagaimana aku bisa bosan? ujar Kino dalam hati.

Kamis, 10 November 2011

Curhat Lovely : gue bosenn

hoaahmmm.... BT duechh.. gya lebay.. mau posting ap lgii...:((