Hubungan Rien dan Kino berkembang cepat
bagai api membakar ilalang kering. Susi sudah tidak lagi latihan menari,
karena kini ayah dan ibu menyuruh Susi lebih berkonsentrasi ke
pelajaran sekolah. Ujian akan berlangsung tiga bulan lagi. Kino tidak
lagi mengantar Susi, tetapi justru kunjungannya ke sanggar semakin
sering!
Ada satu hal yang membuat mereka semakin dekat. Keduanya suka
berenang, dan Rien dengan senang hati mengajak Kino ke pantai jika waktu
senggang. Seperti kali ini, Kino pulang lebih cepat karena guru-gurunya
harus berseminar di luar kota. Dari sekolah, Kino menuju sanggar untuk
melihat kalau-kalau Mba Rien ingin berenang. Dan ternyata Rien memang
sedang tidak berkegiatan, sedang sendirian membaca-baca majalah di
sanggar.
“Berenang, yuk, Mba Rien..,” ajak Kino. Kini ia sudah berani mengajak
duluan, setelah berkali-kali mereka berenang bersama di sungai, di
kolam renang, maupun di pantai. Selama itu, mereka berenang bersama-sama
dengan beberapa orang lainnya. Kadang-kadang bersama Dodi dan Iwan,
sahabat Kino. Kadang-kadang bersama Niken, salah seorang penari di
sanggar. Teman-teman Kino pun kini tahu, bahwa di antara Mba Rien dan
Kino “ada apa-apa”. Tetapi mereka cuma bungkam, karena Kino pasti akan
berang setiap kali topik itu diangkat dalam pembicaraan.
Siang itu mereka berenang berdua saja. Teman-teman Kino memilih
memancing di danau di luar kota. Niken tidak ada di sanggar karena harus
belanja ke pasar. Rien dengan senang hati menerima ajakan Kino, dan
segera mengambil pakaian renang dan sepedanya.
Di pantai tidak banyak orang, karena ini memang bukan hari libur.
Rien mengajak Kino ke sebuah bukit pasir yang dipenuhi semak, karena
tempat itu jauh lebih sejuk di bandingkan tempat di mana orang-orang
biasa berenang atau bermain pasir. Kino menurut saja. Mereka pun lalu
berenang, bermain-main air dan saling berlomba mencapai batu karang di
tengah laut. Mba Rien bukanlah perenang yang dapat diremehkan, begitu
selalu kata Kino kepada teman-temannya. Tubuhnya gesit seperti ikan, dan
tahan berenang berjam-jam.
Setelah puas berenang, mereka kembali berteduh di bawah semak-semak.
Kino menggelar dua handuk lebar yang selalu dibawanya jika berenang ke
pantai. Rien merebahkan tubuhnya yang penat di sebelah Kino yang juga
sudah tergeletak kecapaian. Mereka terdiam mendengarkan debur ombak
memecah pantai. Kino memejamkan mata dan merasakan otot-otot tubuhnya
pegal dan sedikit linu.
“Kino..,” tiba-tiba Rien berucap, hampir tak terdengar.
“Hah?…” Kino kaget dan setengah bangkit. Mba Rien masih tergeletak dengan mata tertutup, tetapi bibirnya tersenyum.
“Ada apa, Mba?” tanya Kino.
“Aku mau tanya, tetapi kamu musti jawab yang jujur ya!” kata Mba Rien, masih memejamkan mata dan tersenyum. Kino cuma diam.
“Kino .., kamu senang melihat saya, bukan?” tanya Mba Rien pelan.
Kino cuma diam, tak tahu harus menjawab apa. Di hadapannya tergeletak
seorang wanita dewasa, dengan tubuh sempurna, basah oleh air laut, dan
bertanya seperti itu! Apa jawabannya?
“Lho, kenapa diam?” sergah Mba Rien, kini membuka matanya, memandang
Kino dengan sinar mata yang menembus kalbu. Kino menelan ludah, lalu
menunduk.
Rien lalu bangkit, duduk bersila menghadap Kino yang kini juga sudah
duduk dengan kepala agak menunduk. Lalu Rien melakukan sesuatu yang
selama ini tak pernah terduga oleh Kino. Ia membuka pakaian renangnya,
menanggalkan bagian atasnya, memperlihatkan buah dadanya yang ranum,
putih mulus dan basah berkilauan! Aduhai indahnya dua bukit kenyal yang
turun naik seirama nafas pemiliknya, dengan puncak yang dihiasi dua
puting coklat kehitaman, berdiri tegak bagai menantang!
Kino mengangkat muka, pandangannya terpaku di kedua payudara indah di
hadapannya. Mulutnya terkunci rapat. Rien tersenyum melihatnya, lalu
dengan lembut digenggamnya kedua tangan Kino. “Jangan malu, Kino.
Katakan kamu memang suka melihat tubuh saya, bukan?” ucapnya setengah
berbisik. Kino menangguk pelan.
“Ingin menyentuhnya?” bisik Mba Rien lagi. Kino tergagap, mengangkat
mukanya dan memandang wajah wanita di depannya tak percaya. Tetapi di
wajah itu ada sepasang mata yang sangat sejuk, bagai danau di kaki bukit
tempat teman-temannya biasa memancing. Sebuah hamparan air yang tampak
tenang meneduhkan hatinya yang bergejolak.
“Apa maksud, Mba Rien?” ucap Kino tersekat.
“Tidak inginkah kamu menyentuh dadaku?” jawab Mba Rien, genggaman
tangannya semakin kuat, dan kini perlahan-lahan mengangkat tangan Kino.
Tersenyum lagi, Rien merasa betapa kedua tangan itu bergetar.
Cepat-cepat kemudian ia meletakkan kedua tangan Kino di dadanya, di
puncak-puncak payudaranya yang membusung. Kino segera menarik kembali
tangannya, bagai menyentuh benda bertegangan listrik. Rien tertawa
kecil.
“Hayo, pegang lagi…,” ucapnya ringan. Diraihnya lagi kedua tangan
Kino dan diletakkannya kembali di atas payudaranya. Kali ini Kino tak
menarik tangannya, dan membiarkan kedua telapak tangannya menerima
sebuah kelembutan, kehangatan, kekenyalan, dan entah apa lagi ….
semuanya serba menakjubkan. Pelan-pelan, Kino mulai memegang lebih erat,
menempelkan seluruh telapaknya di puncak-puncak payudara Mba Rien. Baru
kali ini, setelah lepas dari susu ibunya 13 tahun yang lalu, Kino
memegang kembali payudara seorang wanita!
“Senang?” tanya Mba Rien, masih dengan suaranya yang setengah
berbisik, setengah menuntut. Kino hanya bisa mengangguk dan menatap
lekat mata Mba Rien, seakan-akan hanya dari kedua mata itulah ia bisa
memiliki kekuatan untuk hidup saat ini.
Lalu Mba Rien menurunkan tangan Kino, mengenakan kembali pakaian
renangnya, dan mengusap lembut wajah Kino. “Kamu sekarang sudah dewasa,
Kino!” ucapnya riang, sambil bangkit dan menarik tangan Kino untuk ikut
berdiri. Lalu ia berlari, menyeret Kino kembali ke laut, terjun sambil
berteriak riang, dan melesat meninggalkan Kino menuju batu karang di
tengah.
Kino merasa tubuhnya yang panas bagai bara dicelupkan ke dalam air
dingin, segera memadamkan api yang tadinya sudah hampir membesar. Kino
menyelam sedalam-dalamnya, seakan-akan hendak bersembunyi dari rasa malu
yang tiba-tiba mengukungnya. Tapi kemudian ia segera timbul kembali,
segera bersemangat lagi mengejar wanita yang baru saja memberinya
pelajaran sangat berharga dalam hidup ini. Aku telah dewasa! jeritnya
dalam hati.
Jumat, 11 November 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar